Oct 28, 2016

Dokter Dan Kapitalisme Masa Kini

Kemarin, 24 Oktober 2016 adalah hari dokter nasional. Para dokter dan mahasiswa kedokteran menggelar aksi damai di depan istana Negara. Kompak di beberapa tempat di Indonesia juga melakukan hal yang sama. Mereka menyuarakan tentang darurat reformasi kesehatan yang pro rakyat untuk Indonesia yang lebih baik. Sebelum masuk lanjut ke aksi para dokter, saya ingin sedikit bercerita tentang pengalaman bersama para dokter.


Beberapa bulan lalu, secara bersama-sama, suami dan salah satu anak saya terkena Demam Berdarah Dengue. 4 hari panas tinggi tidak turun juga, saya memutuskan untuk membawa keduanya tes darah. Tercengang mendengar harga tes darah dari laboratorium yang direkomendasikan, saya berusaha mencari informasi di lab yang lain. Harganya ternyata tak jauh berbeda. Saya memutuskan tes di lab yang memberikan harga termurah. Untuk 2 orang, ternyata tes darah membuat dompet saya sesak nafas juga.

Selesai tes darah, ternyata hasilnya tidak terlalu menggembirakan. Mereka berdua positif terkena Demam Berdarah Dengue. Suami saya harus opname karena trombosit saat itu hanya tersisa 28.000. Beruntung tidak harus transfusi darah. Anak saya, masih bisa rawat jalan dengan banyak asupan cairan dan menjaga kondisinya tetap stabil.

Masuk rumah sakit ternyata tidak langsung mendapat kamar. Masuk rumah sakit, harus melewati ruang yang bernama ICU terlebih dahulu. Harga ruang ICU tentu berbeda dengan kamar rawat inap biasa. Beberapa jam di ICU, melakukan tes darah ulang, setelah tes keluar, sore hari masuk ke ruang rawat inap biasa. Total 3 hari suami saya menjalani rawat inap, dengan tes darah setiap hari.

Awalnya saya memperkirakan biaya yang dikeluarkan dengan menghitung harga obat, harga kamar per malam, dan perkiraan harga tes darah. Ternyata setelah menghadap meja kasir, Jantung saya mencelos. Biaya rawat inap dan lain-lain untuk 3 hari ternyata menguras seluruh isi tabungan saya selama 3 tahun. Iya, rupiah demi rupiah yang saya kumpulkan selama 3 tahun tak bersisa untuk 3 hari di Rumah sakit. Ini jaaauuuh lebih mahal dari biaya liburan ke Bali. Lunglai saya keluar dari kasir, bukan karena penyakit tapi karena melihat sisa saldo di rekening saya.

Keharusan untuk kontrol setelah rawat inap tidak dijalani suami saya. Dia memilih kontrol di klinik dekat rumah yang kebetulan harganya amat sangat terjangkau kantong. Seorang dokter yang beberapa tahun praktek di PMI memberikan harga yang amat sangat ramah. Akhirnya kita pun memilih untuk tes darah terakhir disana, dengan pertimbangan harga yang kita dapat ½ dari harga yang diberikan lab besar.

Saat itu kami memang belum menjadi anggota BPJS karena mendengar berbagai kesulitan dan halangan yang sering di keluhkan oleh para pasien anggota BPJS maupun tenaga kesehatan yang melayani BPJS. Masih banyak sistem yang harus diperbaiki di BPJS. Mulai dari skema pembiayaan, alokasi dana, dan sistem yang berjalan di dalamnya. Menceritakan pengalaman mengantarkan mertua saya yang sakit stroke menggunakan BPJS mungkin akan lebih panjang lagi. Namun begitu tidak dapat dipungkiri, banyak kemudahan yang di dapat dengan adanya BPJS. Saya mendukung penuh adanya sistem jaminan kesehatan semacam BPJS untuk semua rakyat Indonesia. Namun sistem yang ada harus terus diperbaiki. Diperlukan sumbangsih semua pihak, baik para instansi terkait, tenaga kesehatan dan seluruh lapisan masyarakat untuk terus memperbaiki sistem yang ada. Itulah akhirnya yang membuat saya memutuskan mendaftar menjadi anggota BPJS bulan ini.

Biaya kesehatan yang sangat sangat mahal, bahkan untuk ukuran kami yang memiliki penghasilan tetap sedikit diatas UMR, membuat hati saya miris. Saya sempat berpikir, bagaimana dengan mereka yang taraf ekonominya jauh dibawah saya. Bagaimana jika mereka sakit? Apa iya mereka gak boleh sakit?! Meskipun saya percaya akan ada banyak pertolongan dari tangan-tangan yang digerakkan oleh Tuhan menjadi perwakilan-Nya mengantarkan rejeki, namun perasaan nyawa seolah hilang ketika ada di depan meja kasir rumah sakit itu sungguh pengalaman tak terlupakan.


Karena itu ketika peringatan hari dokter nasional kemarin, bersama para dokter dari Ikatan Dokter Indonesia yang sedang turun ke jalan menyuarakan reformasi di bidang kesehatan, maka saya pun turut membantu menyuarakan biaya kesehatan yang pro rakyat. Jangan lagi ada kapitalisasi di bidang kesehatan. Sedih kan ya kapitalisasi sudah merambah banyak bidang, termasuk bidang kesehatan. Para kapitalis itu memanfaatkan kebutuhan bidang kesehatan untuk memenuhi pundi-pundi mereka tanpa peduli biaya kesehatan yang makin bikin sakit hati. Dimulai dari sekolah kedokteran yang mahal, alat-alat kesehatan yang harganya selangit, obat-obatan yang bikin dompet perih hingga biaya perawatan yang membuat kantong tercekik.


Sudah saatnya, semua anak bisa bercita-cita menjadi dokter. Entah itu anak petani, anak nelayan, anak para buruh pabrik, mereka layak menjadi dokter sesuai mimpi kanak-kanak mereka. Tak melulu hanya mereka yang kaya dan berkantong tebal saja yang bisa menjadi dokter. Semua generasi dari semua kalangan bisa bersekolah di kedokteran sesuai minat mereka.

Dokter sebagai garda terdepan bidang kesehatan sudah selayaknya berani maju menentang kapitalisme dibidangnya. Dokter sebagai pelaku utama, tentu tak ingin hanya dijadikan sebagai alat produksi yang memperkaya para kapitalis. Suara dokter menentukan reformasi kesehatan yang pro rakyat. Saya percaya kita memiliki kemampuan untuk mendapatkan wilayah kedaulatan di bidang kesehatan. Dibantu sumber daya manusia yang mumpuni, kemandirian dalam bidang kesehatan pasti bisa tercapai. Semoga dokter-dokter di Indonesia tak pernah lelah berjuang untuk kemanusiaan. Merekalah perpanjangan tangan Tuhan dalam membantu sesamanya. Selamat Hari Dokter Nasional. Terima kasih tak terhingga untuk segala peluhmu membantu sesama. Percaya, semesta akan selalu mendukung niat muliamu.

7 comments:

  1. Ruwet mbak, ruweeet

    Karena emang RS udah dianggep bisnis sendiri sih ya, jadi yaaaa biarpun ada dokter yg idealis blablabla tetep aja, DUIT yang bicara :)

    Aku pingin nulis ttg ongkos yg kudu dikeluarin pas Ibuku opname di RS, tapi yaaa sudahlaaah.... repot! Mau nulis macem2 ntar takut di-"prita"-kan

    bukanbocahbiasa(dot)com

    ReplyDelete
    Replies
    1. begitulah mbak birokrasi dan kapitalisme kalau dikawinkan. Tapi aku percaya, where there is hope, there is light. :)

      Delete
    2. Bener mba, saya juga punya pengalaman menggunakan bpjs trus up grade ke kelas diatasnya karena kelasnya habis... Biayanya edan banget... Tapi mau apa dikata, nasi sudah menjadi bubur. Pelajaran untuk lain kali agar tidak terulang

      Delete
  2. Duh, biayanya mahal sekali ya, mba Wiwit :(
    DOa utama kita bisa diberi kesehatan ya mba dan smoga rejekinya kembali terkumpul lagi. Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dan ketika kita berdoa meminta rejeki yang berlimpah, lalu Allah membalas doa kita dengan memberi kesehatan, maka sesungguhnya doa kita telah terkabul ya mbak... Kesehatan sungguh bentuk rejeki yang tak ternilai harganya.

      Delete
  3. Iya, kesehatan. Mudah-mudahan mbak sehat selalu. Aamiin.

    Salam,
    Gabrilla

    ReplyDelete