Oct 20, 2014

Diam itu Bukan Tujuan

"Saya tahu penyebabnya. Perut kalian sakit pasti karena makan bakso di tempat yang tidak bersih", kata Dokter Banu.  "Memangnya kalau makan bakso jadi sakit perut ya??" Tanya Kimo heran." Itulah penggalan cerita yang saya ambil dari buku Kira dan Kara. Hanya karena ada anak makan bakso lalu sakit perut, lantas Kimo menyimpulkan bahwa bakso itu bikin sakit perut dan menyalahkan baksonya.


Familiar dengan hal tersebut? Sepertinya hal sepele, namun bagi saya itu benar-benar catatan yang harus saya tempel di salah satu otak saya dengan garis bawah yang tebal.  Pernah dengar ketika anak jatuh, lantas orang tua berusaha menenangkan si anak dengan memukul atau menyalahkan batunya?

Siang tadi pun saya mendapati Kira jatuh karena terpeleset lantai yang masih basah. Lalu diarahkan untuk memukul si bibi yang sedang mengepel lantai. Tak pelak, saya pun naik pitam. Saya dudukkan Kira, saya tegur si anak dengan suara yang tegas. Saya ajak ia untuk meminta maaf kepada si bibik. Once again, sepertinya itu terlihat sepele, tapi bagi saya itu hal yang sangat krusial yang harus lakukan.


Bagi saya, anak menangis karena jatuh, kecewa, sakit, sedih, itu hal biasa. Jangankan yang masih anak-anak, yang sudah dewasa pun masih menangis jika sakit atau sedih. Jadi kenapa harus panik ketika mendapati anak menangis karena satu hal yang masih bisa diatasi bersama. Terkadang orang tua sering mengambil cara-cara yang instan untuk membantu anak berhenti menangis. Bahkan cara apapun diambil agar anak segera berhenti menangis.

Berhenti menangis itu bukan tujuan utama. Namun bagaimana anak belajar berusaha menenangkan diri sendiri itu lebih penting. Bagaimana anak belajar mengatasi rasa sakit, rasa sedih, rasa marah dan rasa kecewa itu bekal yang tak terhingga.

Akan seperti apa anak-anak kita ketika ia kecewa, sedih, marah dan diajarkan untuk menyalahkan hal lain yang tak seharusnya disalahkan?  Akan seperti apa anak-anak kita ketika ia sakit, dan marah malah disuap dengan gula-gula hanya agar ia berhenti marah? Akankah gula-gula itu mampu membuat anak mengerti tentang masalahnya? Akankah memukul batu yang membuat si anak jatuh itu akan menyembuhkan luka si anak? dan Akankah berhenti menangis itu berarti semua masalah telah selesai?  Cukup bijakkah kita meletakkan kesalahan pada orang, benda atau hal-hal yang sebenarnya tidak salah? Lantas apa bedanya hal tersebut dengan fitnah yang sangat dikecam agama?

Saya bukan seorang psikolog, juga bukan pakar pendidikan.  Namun bagi saya, membuat anak diam itu tidak akan membuat anak belajar menyelesaikan masalahnya.  Jikalau memang kita masih melakukan kebiasaan-kebiasaan tersebut, sepertinya masih belum terlambat untuk belajar bersama-sama buah hati.  Sungguh saya dapati anak-anaklah tempat bersemayam jiwa-jiwa murni untuk kita berkaca dan menata diri.

No comments:

Post a Comment